MENGUATNYA PARTAI POLITIK KARTEL PADA PEMILU SERENTAK 2019

Lembaga Kajian Srategis

Oleh: Dr. Bachtiar, Luthfi Hasanal Bolqiah, M. Andrean Saefudin

 

ABSTRAKSI Orientasi elektoral dengan menanggalkan peran dan fungsi ideal partai politik nyatanya tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan perilaku masyarakat tetapi juga oleh aturan-aturan pemilu seperti tingginya ambang batas yang dibuat partai politik lama untuk mempertahankan keuntungannya dan mempersulit partai-partai baru/kecil untuk bersaing dengan mereka. Beratnya syarat pembentukan partai politik, tingginya angka maksimum modal dan perubahan-perubahan pada detail rekayasa elektoral tidak lain menegaskan dominasi dari partai politik lama. Tidak hanya menegaskan dominasi partai lama, akibatnya juga berdampak pada perubahan model kepartaian yakni menguatnya partai politik. Sumber daya utama dari partai politik lama bukan masyarakat atau pemilih loyalnya tetapi kuntungan yang didapatkan dari koalisi dengan penguasa atau pemenang. Fenomena ini memperlihatkan adanya penguatan partai politik kartel. Akibatnya kompetisi yang terjadi pada pemilu presiden 2019 bukan kompetisi ideologi, gagasan visi misi ataupun program kerja tetapi kompetisi, yang dikendalikan oleh modal yang sama yakni state subvention. Menguatnya partai politik kartel memperlemah persaingan antara partai sehingga kedekatan terhadap pemilih akan semakin longgar dan partai tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai perwakilan masyarakat tetapi justru sebagai broker antara masyarakat dan pemerintah, bahkan lebih dari itu partai politik menjadi bagian dari pemerintah (part of state).

Dalam perspektif sejarah kepemiluan Indonesia, penyelenggaraannya berlangsung naik-turun. Tercatat, Pemilu 1955 dianggap sebagai Pemilu monumental karena berlangsung sangat demokratis dan menghasilkan anggota lembaga legislatif yang bekerja demi rakyat.1 Dalam perjalanan peraturan kepemiluan terjadi pula perubahan yang signifikan. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, peraturan kepemiluan dianggap tidak mampu menata agar pemilu dapat menciptakan proses yang demokratis untuk mengkonversi daulat rakyat menjadi para penyelenggara negara.

1. Sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab. Paling tidak disebabkan 2 (dua) hal: (1) belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu; dan (2) belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Lihat Miftah Thoha, Birokrasi Politik dan Pemilu di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 117.

Selengkapnya dalam Jurnal Pengawas Pemilu: https://www.researchgate.net/profile/Luthfi-Bolqiah/publication/362888083_Menguatnya_Partai_Politik_Kartel_pada_Pemilu_Serentak_2019/links/6305b5fe5eed5e4bd115ee0e/Menguatnya-Partai-Politik-Kartel-pada-Pemilu-Serentak-2019.pdf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
Kirim Via Whatsapp